Ziarah Kenduri

Di Simpang Seribu Iftar

Ramadan dalam Dinamika Pangan dan Warga

Nayaka Angger
10 min readSep 19, 2022

Tulisan ini merupakan draf awal dari seri artikel studi pangan Ramadan yang pertama dipublikasikan di blog Kota Kita. Laporan studi dengan tajuk yang sama juga telah dipublikasikan dan dapat diakses di situs tersebut. Versi ini berdurasi baca lebih lama dengan struktur yang kurang rapi karena dibumbui sedikit fafifuwasweswos di sana-sini.

Piknik iftar di tepi jalan inspeksi Banjir Kanal Timur (Nayaka, 2022)

Perut manusia mampu merangkap fungsi jadi penanda waktu, terlebih selama Ramadan. Bagi warga kota yang berpuasa, pukul 17.30, misalnya, bisa ditandai oleh redupnya langit sore, bisa pula oleh nyeri lambung. Bunyi-bunyian keroncong perut, sebagai contoh lain, dapat dijadikan alternatif notifikasi azan magrib ketika menantikan waktu berbuka. Menjelang petang, perut juga melepaskan semacam sinyal yang mendorong manusia berperilaku tertentu. Berbagai bentuk yang teramati mencakup, di antaranya, pekerja kantor yang diam-diam menutup laptop, ribuan pedagang yang berangsur membuka lapak, serta orang-orang yang misuh dalam kemacetan sambil tabah menahan lapar.

Ketika tingkah laku warga yang demikian mulai teramati, tandanya kota akan segera memasuki waktu berbuka puasa. Banyak yang tergesa pulang untuk berbuka dengan keluarga di rumah, sebagian mampir ke warung terdekat bersama kolega, yang lain ramai-ramai berkumpul di kediaman sahabat. Ruang kosong barang sehasta disulap jadi arena warga: trotoar jadi pasar takjil, beranda masjid jadi dapur umum, pos jaga kompleks jadi bilik bertandang, dan gang sempit jadi tempat ngabuburit.

Ketertarikan terhadap perut, bulan puasa, dan ruang-warga ini merefleksikan kekaguman atas bagaimana kota menjadi tempat yang sama sekali berbeda ketika Ramadan tiba. Di balik lalu lintas yang mandek dan harga daging yang antusias melonjak, ada dinamika yang rasanya berharga untuk diamati, dialami, lalu disesap pembelajarannya. Lewat studi kecil di Jakarta dan Solo selama bulan Ramadan, Kota Kita menapis beberapa temuan yang berharga untuk dijadikan perspektif pelengkap dalam memahami dinamika ruang dan warga kota…beserta perutnya.

Warga Berpuasa, Kota Bersalin Rupa

Kalau dihitung kasar, diperkirakan terdapat sekitar 8,2 juta warga Jakarta dan 350 ribu warga Solo yang masuk kategori Muslim berusia lebih dari 15 tahun.

Meski tidak sepenuhnya akurat — terutama mempertimbangkan populasi “siang” yang melaju dari suburban sekitar — kalkulasi di atas bisa mengestimasikan seberapa besar populasi warga yang berpuasa di Jakarta dan Solo: hampir tujuh dari sepuluh orang. Tujuh dari sepuluh orang yang berhenti mengonsumsi makanan dan minuman selama tiga belas jam setiap harinya selama Ramadan. Tak hanya di Jakarta dan Solo, keadaan serupa boleh jadi berlaku di berbagai kota lain, mengingat Indonesia merupakan negara berpopulasi muslim terbesar di dunia.

Ketika sebanyak itu orang mengurungkan niat untuk sarapan bubur, makan siang di warteg, atau jajan kopi sore, ada peluang besar kota akan menyesuaikan diri untuk menyambut perubahan perilaku pangan tersebut.

Kebon Kacang dan hiruk pikuk persiapan buka puasa (Gregorius Jasson, 2022)

Bagi yang melaksanakan puasa, perubahan pola makan dan minum dalam keseharian tentu terjadi. Sejumlah responden studi ini, sebagai contoh, menyatakan bahwa mereka menjadi lebih sedikit minum air dalam sehari, lebih jarang makan sayur dan minum kopi, dan lebih sering mengonsumsi panganan manis. Bahkan, beberapa orang yang tidak berpuasa mengaku ikut mengalami perubahan perilaku pangan, seperti berkurangnya intensitas makan serta kecenderungan menghindari makan di tempat umum.

Selain perilaku, selera warga juga teramati mengalami pergeseran preferensi selama Ramadan. Beberapa menu favorit, didapati dari studi, di antaranya adalah minuman manis dingin seperti sop buah dan es kelapa, dibarengi kudapan semacam gorengan, martabak, dan kurma. Beberapa hidangan khas lebaran seperti opor ayam dan kue nastar juga kedapatan menduduki podium di hati sejumlah besar responden. Tampaknya memang ada makanan dan minuman yang diciptakan jadi lebih lezat dinikmati hanya satu bulan setiap tahunnya.

Lalu, apa dampaknya terhadap kota? Pada aras individu, perubahan-perubahan di atas mungkin kurang bermakna, terlebih dalam sistem kerja kota nan raya dan rumit. Namun, jika ditilik dari skala lebih besar, akumulasi perubahan pola perilaku tersebut dapat menggoreskan dampak signifikan yang bisa memengaruhi dinamika pangan di sebuah daerah, memaksa banyak aktor dan komponen dalam sistemnya untuk beradaptasi, dan mengubah keseharian warga dalam memperoleh asupan nutrisi.

Berkurangnya intensitas ngopi dan bergesernya jam makan siang, misalnya, punya kekuatan — via mekanisme pasar maupun tekanan sosial — untuk mendorong kedai dan warteg sekitar menyesuaikan waktu operasional serta volume belanja hariannya. Selain itu, perubahan selera musiman yang tadi dibahas juga kemudian terefleksikan pada beberapa nuansa yang terasa di seantero kota, seperti menjamurnya penjual yang merespons permintaan berbagai sajian khas Ramadan, serta kenaikan harga komoditas tertentu yang digunakan untuk meramunya.

Namun, lawatan singkat ke jalan-jalan di Jakarta dan Solo mempersaksikan bukan hanya dinamika pangan yang berkenaan dengan fluktuasi harga dan takjil favorit, melainkan juga sebuah semarak kultural yang punya andil besar dalam menjahit pola-pola khas pada ruang kota.

Ruang yang Tunduk pada Semarak

Penceramah di televisi sering bilang: Puasa bukan hanya tentang menahan haus dan lapar. Sepakat. Puasa juga tentang berubahnya hidup dan ruang hidup.

Selain perut, hal lain yang diuji dan dirawat ketika berpuasa adalah silaturahmi. Umat muslim, khususnya, didorong untuk menjalin ulang tali persahabatan dan persaudaraan yang banyak usang tergerus kerja, cicilan, serta tanggung jawab hidup lainnya. Gaya silaturahmi bermacam-macam, tetapi ada beberapa bentuk yang lazim teramati selama Ramadan. Misalnya, kegiatan berbuka puasa bersama atau bukber, mengirimkan hampers atau bingkisan, dan bersedekah kepada yang dianggap membutuhkan.

Berbagai kegiatan silaturahmi tersebut meresap ke serat-serat kehidupan sosial warga dan memberi corak tersendiri pada dinamika keruangan kota. Keramaian menjelang waktu berbuka salah satunya disebabkan oleh banyaknya warga yang hendak bukber dan ngabuburit. Beberapa orang yang ditemui di lokasi observasi studi datang ke sana dengan orang lain atau mengaku akan berkumpul dengan teman dan saudara di tempat lain setelahnya. Sekitar 76,1% responden kuesioner juga menyatakan pernah bukber setidaknya satu hingga lima kali selama bulan puasa. Dua responden bahkan pernah bukber ke luar rumah hingga lebih dari dua puluh kali!

Beberapa jemaah masjid di Solo berbuka puasa bersama (Angga Bakti, 2022)

Tendensi untuk berkumpul bersama dan merayakan pertemuan dengan makan-minum ini menyemai bibit kemeriahan yang rentan menjalar ke penjuru kota. Restoran, mal, bazar, pujasera, sentra PKL, kedai, dan masjid merupakan tempat-tempat yang ramai dituju warga untuk ritual buka bersama (kadang sekalian reuni TK). Maraknya gerombolan bukber ini mendorong para aktor penyedia pangan untuk menyesuaikan diri. Aneka ragam penyesuaian ini akan dibahas pada bagian selanjutnya, namun yang kentara terpampang di ruang publik adalah proliferasi pedagang yang membeludak dan memenuhi sudut-sudut kota.

Ada tempat yang ramai, ada juga yang kurang ramai — yang sepi jarang sekali. Datang atau tidaknya pengunjung diduga dipengaruhi oleh fasilitas dari suatu lokasi. Untuk bisa bukber dengan lancar, tempat parkir, musala, kamar mandi, serta kursi-meja adalah fitur yang wajib diprioritaskan. Untuk mengakomodasi warga yang mengakses lokasi dengan motor dan mobil pribadi, banyak pusat takjil terobservasi memiliki fasilitas tempat parkir, baik yang resmi maupun liar, yang existing maupun tactical. Tempat salat dan kamar mandi memadai diperlukan untuk menunjang iftar yang afdal. Begitu pula dengan meja-kursi atau tempat duduk yang bisa menampung kelompok besar dengan tata letak yang memungkinkan interaksi. Selain itu, keanekaragaman pilihan jajanan plus adanya atraksi tertentu juga menjadi faktor yang menarik atensi pengunjung.

Banyak lokasi yang dikonfigurasi ulang agar mampu mengakomodasi gelombang calon konsumen ini. Masjid Istiqlal di Jakarta, misalnya, membuka halamannya untuk diisi banyak pedagang untuk memudahkan jemaahnya memperoleh takjil setelah salat magrib. Pedagang di Stasiun Gondangdia menyediakan jajanan yang siap dibawa untuk para penglaju yang terburu-buru mengejar kereta dan harus berbuka di perjalanan. Trotoar dan jalan di sekitar kawasan Kebon Kacang mendadak didandani jadi spot parkir ala kadarnya, lengkap dengan fasilitas perlindungan helm dengan plastik kresek jika hujan. Di Solo, di jalan depan Pasar Gedhe, ratusan lampion dipasang di sepanjang jalan menghiasi pergelaran pusat takjil yang diselenggarakan oleh kelurahan setempat. Orang-orang datang untuk berbuka sekaligus mengalami suasana festival di sana.

Semarak yang luput terbendung ini justru menyuntikkan energi yang mengaktivasi banyak ruang secara spontan, mendatangkan beragam pengguna dengan varia aktivitas. Namun, suasana menggempita kota ketika Ramadan tak lepas dari elemen yang, meski dianggap liar dan kerap dipinggirkan, justru menjadi akar yang menghidupkan kota.

Vital dan Informal

“Ya, nyocokin sama jajanan buka puasa aja,” tutur Bu Eko ketika menceritakan alasannya berjualan gorengan.

Pada hari-hari biasa, Bu Eko, seorang perempuan paruh baya, menjajakan nasi dan lauk-pauk di tepi Jalan Bendungan Hilir, Jakarta Selatan. Selama Ramadan, tepat di seberang lapaknya, puluhan meja lipat berbanjar di kolong naungan tenda seluas kurang lebih 12x5 meter. Di dalamnya terpampang helat bazar takjil masyhur yang menyajikan aneka panganan iftar, mulai dari gorengan tahu, es blewah, sampai rendang paru. Untuk beradaptasi dengan tetangga musiman ini, beliau memutuskan putar haluan dengan menjajakan salah satu takjil favorit sejuta umat: gorengan.

Pasar takjil di kawasan Bendungan Hilir yang ramai setiap Ramadan (Nayaka, 2022)

Lima ratus kilometer jauhnya di timur Bu Eko, di kawasan sekitar Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Solo, Mas Iwan, seorang pria yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta, mencoba peruntungannya pada Ramadan tahun ini dengan berjualan es teler. Potensi meraup rezeki yang prospektif mengundang tak hanya pria yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta ini, tetapi juga banyak pedagang musiman lain untuk berjualan menu-menu berbuka di kampung-kampung kota ataupun di lokasi-lokasi pusat takjil.

Bu Eko dan Mas Iwan bukanlah satu-satunya. Mereka hanya sekelumit kecil dari komponen pokok kota yang tersohor luwes dan responsif dalam menjawab kebutuhan warga kota: sektor informal.

Sektor informal, atau khususnya pedagang informal dalam konteks ini, merupakan subjek yang dominan teramati hampir di setiap lokasi studi. Melanjutkan pembahasan pada bagian sebelumnya, sektor inilah yang punya kepekaan tinggi dalam menanggapi berbagai perubahan perilaku dan preferensi pangan warga. Menarik untuk mengamati bagaimana sektor ini beradaptasi untuk mengakomodasi perubahan tersebut, serta bagaimana kemudian mereka menempati dan memberi bentuk pada ruang kota dalam kesehariannya.

Salah satu temuan menarik dari observasi di belasan lokasi pusat kegiatan berbuka adalah bagaimana sektor informal (dan formal) beradaptasi dalam mengorganisasi diri. Melalui wawancara dengan pedagang, setidaknya diketahui ada empat aspek yang disesuaikan dengan kondisi Ramadan, yakni waktu, komoditas, harga, dan lokasi.

Jika bicara mengenai ibadah puasa, maka waktu merupakan aspek krusial. Hampir semua narasumber menyatakan bahwa mereka berjualan mulai sore hari menjelang waktu berbuka, menghindari jam berpuasa dari pagi hingga siang hari, terutama bagi yang menjual panganan jadi atau siap konsumsi. Kebanyakan datang agak cepat ke lokasi untuk memperoleh tempat melapak, jaga-jaga kalau kehabisan lokasi strategis. Kekompakan alur nalar ini membangun sejenis aba-aba tak kasat mata bagi ribuan pedagang dan pengunjung untuk tumpah ruah ke jalan tiap 1–2 jam menjelang magrib, menyesakkan kota dengan keriuhan yang sekonyong-konyong.

Banyak warga mengunjungi PKL yang berjajar di sekitar Balai Kota Solo menjelang magrib (Angga Bakti, 2022)

Pergeseran waktu operasional ini kerap disertai dengan penyesuaian komoditas dagang. Seperti Bu Eko tadi, terdapat pedagang yang khusus menambahkan atau mengganti dagangannya menjadi sajian yang diminati selama Ramadan, seperti gorengan, kue jajan pasar, atau ragam minuman es manis. Kesenadaan jajaan antarlapak yang terlihat saat bertandang ke pusat-pusat takjil menguatkan praduga bahwa ada peralihan massal menuju kelompok komoditas tertentu. Selain itu, sifat pedagang informal yang cenderung sementara dan footloose memungkinkan mereka menjadi lebih fleksibel dalam “mengutak-atik” komponen usahanya tanpa menanggung risiko kehilangan modal yang terlalu besar.

Harga, sebagai konsekuensi dari perubahan perilaku dan preferensi tersebut, cenderung meningkat selama Ramadan; seperti keniscayaan bahwa Ramadan pasti menggoyahkan keadaan pasar. Pada tahun ini, tercatat setidaknya tujuh komoditas pangan yang mengalami kenaikan harga bahkan dua minggu sebelum memasuki bulan puasa, di antaranya cabai, daging sapi, dan minyak goreng[1]. Kenaikan permintaan yang tidak diiringi dengan kesiapan suplai ditengarai menjadi salah satu penyebabnya[2], diperparah dengan antusiasme penduduk Indonesia yang sudah dua tahun gagal lebaran karena pandemi. Dari perspektif pedagang, kenaikan harga bahan pangan di pasar dan tumbuhnya permintaan akan mendorong penyesuaian harga jual. Kenaikan ini tercermin pula dari sudut pandang warga sebagai pembeli. Mayoritas responden kuesioner mengaku mengalami kenaikan pengeluaran pangan, beberapa bahkan mencapai hingga 50% lebih banyak dari bulan biasa, yang diatribusikan kepada dua penyebab utama, yakni meningkatnya frekuensi beli makan di luar dan kenaikan harga pangan. Menahan lapar belasan jam ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan menahan uang keluar dari pundi-pundi.

Secara keruangan, terdapat beberapa pedagang yang sengaja berpindah tempat ke lokasi yang dianggap lebih strategis, biasanya ke bazar, pasar-pasar takjil, atau pinggir-pinggir jalan utama. Alih-alih berpindah lokasi, ditemukan pula pedagang yang memiliki kapasitas untuk menambah lokasi berjualan baru. Seorang penjual tahu gejrot di bantaran BKT, Jakarta Timur, mengutarakan bahwa ia mengerahkan saudaranya untuk membuka lapak kue-kue takjil di perumahan militer tidak jauh dari situ. Faktor lokasi memang tampak punya peran tak tergantikan dalam menentukan laris atau gersangnya ikhtiar dagang. Di Solo bahkan ditemukan sekumpulan pedagang dari asal lokasi sama yang ramai-ramai pindah berdagang ke sekitar UMS — berbagi ruang dengan Mas Iwan — untuk mengejar kerumunan konsumen. Klaster-klaster informalitas ini mengisyaratkan sebentuk komunalitas kelompok yang di dalamnya pertukaran informasi dan saling bantu menjadi modal sosial utama, membuat sektor informal begitu tangguh juga lenting dalam menavigasikan dirinya di kota; secara kolektif menumbuhkan titik ungkit untuk menegosiasikan eksistensinya dalam ruang kota.

Dalam studi ini, informalitas menjadi komponen urban yang begitu lekat dengan Ramadan dan beragam konsekuensi sosiokultural turunannya. Pada banyak titik antarmuka sistem pangan, informalitas mengambil peran untuk memudahkan warga menyambung hidup, baik bagi pelaku, perantara, maupun penerima manfaat. Mulai dari pedagang pasar, sistem logistik, kelompok PKL, pengorganisasian lahan, kurir daring, juru parkir, hingga pelanggan. Tanpa itu semua, ribuan iftar di senja kala kota tak akan punya rumah untuk menampung semaraknya.

Selepas Ketupat

Pangan, warga, dan ruang kota tertaut dalam jalinan yang rumit. Arus perputaran pangan begitu deras, komoditas bertukar tangan dan berpindah ruang dengan lekas. Berbagai fenomena Ramadan yang dibahas di atas hanya memperlihatkan kompleksitas sistem pangan kota dalam skala dan derajat intensitas yang diperbesar; yang pada waktu-waktu biasa juga sebetulnya terjadi di sela-sela keseharian warga, menempati ruang-ruang kota untuk mengantarkan makanan dari kebun ke piring kita.

Tentu, hiruk pikuk Ramadan juga tak luput dari persoalan dan melahirkan banyak pertanyaan untuk direfleksikan: Bagaimana dengan ketertiban yang banyak dikompromikan di ruang informal? Bagaimana dengan timbulan sampah sisa makanan dari kenduri iftar ini? Bagaimana dengan akses pangan untuk masyarakat miskin kota? Bagaimana kita bisa mendorong praktik dan laku pangan yang berkelanjutan, mengingat Ramadan seyogianya penuh kesederhanaan, kepedulian, dan penguasaan diri?

Pertanyaan baru justru timbul seiring mendalam dan meluasnya pemahaman akan kota, seiring tiap lapis tipis realitas yang berhasil disibak. Namun, terlepas dari ketidaksempurnaan studi kecil ini, setidaknya ada pengingat berharga bahwa makanan adalah bagian penting bukan hanya dari manusia dan perutnya, melainkan juga kota dan rupa-rupa rautnya.

Penulis:
Nayaka Angger, Asih Radhianitya, Rizqa Hidayani

Peneliti:
(Jakarta) Nayaka Angger, Asih Radhianitya, Wulandari Anindya Kana, Fildzah Husna, Vanesha Manuturi, Gregorius Jasson, Adinda Angelica
(Solo) Rizqa Hidayani, Ahmad Rifai, Kirana Putri Prastika, Bisma Setyadi, Nisita Pradipta, Asri Septarizky

30 Juni 2022

--

--