Indonesia Menuju Olimpiade 2024
Menukar Kota dengan Pesta Olahraga
Sebelum bergibah, mari menutur syukur atas perolehan dua medali perak Indonesia dalam Olimpiade Rio 2016 oleh atlet angkat besi Sri Wahyuni dan Eko Yuli, jua panjatkan pula mantra-mantra kepada kontingen Indonesia yang masih berjuang di sana. Bersyukur pula karena olimpiade kali ini menjadi sebuah eksploitasi momen untuk memulihkan ilusi persatuan dan kemanusiaan dunia, seperti yang tertangkap dalam potret atlet voli putri Mesir dan Jerman [1], serta sebuah selfie yang memuat kenaifan atlet gimnastik putri Korea Utara dan Korea Selatan.
Sebuah Harga Pesta Pora
Di balik euforia itu, Olimpiade Rio terselenggara dengan sebuah harga. Pemerintah kota Rio de Janeiro adalah salah satu yang membayarnya; menggelontorkan setidaknya 4,6 miliar US$ untuk biaya operasional, konstruksi dan renovasi tempat, serta infrastruktur kebutuhan Olimpiade [2]. Walaupun jauh lebih kecil dibandingkan bujet Olimpiade London dan Sochi silam, nominal tersebut mampu mendesak pemerintah Rio untuk menyatakan keadaan darurat finansial. Berbagai kritik menyusul dilayangkan terkait buruknya persiapan dan penyelenggaraan Olimpiade di Rio [3], mengilustrasikan sebuah kota yang belum siap menuanrumahi perhelatan semegah itu. Kendati demikian, Rio de Janeiro mempertaruhkan semuanya demi kesempatan untuk sebuah kehormatan besar yang, sayangnya, tidak bisa dimakan atau dijadikan tempat tidur.
Tidak hanya pemerintah, sebagai sebuah kesatuan sistem kota, warga kota Rio de Janeiro juga ikut ‘membayar’ terselenggaranya Olimpiade kali ini. Setidaknya 340 keluarga digusur dan dipindahpaksakan untuk pembangunan Olympic Park di Vila Autódromo, serta 380 rumah di utara kota yang akan dibangun jalur bus cepat penghubung bandara dengan area Olimpiade [4]. Dalam sebuah laporan, jurnalis Lena Azevedo dan arsitek Lucas Faulhaber memperkirakan ada lebih dari 60.000 penduduk yang kehilangan tempat tinggalnya sejak Rio de Janeiro ditetapkan sebagai tuan rumah pada 2009 [5].
Harga semacam itu bukanlah harga yang hanya dibayar secara fisik, namun juga secara psikis. Ratusan keluarga dicerabut dari tempat tinggalnya, dipisahkan dari sistem ruang dan sosial. Beberapa bahkan dipindahkan 60 km dari pusat kota, berharap keajaiban mempertemukannya dengan penghidupan. Kemarahan pun timbul dari mereka yang ‘membayar’, tapi justru kehilangan. Maka, bukan mengherankan ketika konflik akhirnya pecah, bergulir menjadi sebuah riuh antara pemerintah dengan masyarakatnya [6], memperdebatan antara kesejahteraan dan kehormatan.
Itu adalah rahasia gelap di balik Olimpiade Rio. Namun sayangnya, rahasia tersebut tidak hanya milik Rio.
Olimpiade dan Kota
Pada persiapan Olimpiade Beijing 2008, Centre on Housing Rights and Evictions (COHRE) melaporkan sekitar 1,5 juta penduduk digusur dan dipindahpaksakan untuk pembangunan terkait Olimpiade, walaupun pemerintah bersikeras bahwa jumlah sebenarnya hanya enam ribu [7]. Kebanyakan dari korban relokasi dipindahkan jauh dari tempat asalnya, mengalami kekerasan dan ketidakjelasan prosedur selama proses penggusuran. Kehilangan tersebut, entahkah sepadan dengan kemegahan Olimpiade Beijing 2008.
Rahasia yang sama juga diungkap pada Olimpiade London 2012. Sedikitnya 450 penyewa di sebuah housing estate menghadapi ancaman relokasi setelah kompleksnya dibeli paksa oleh London Development Agency untuk kepentingan Olimpiade [8]. Para penghuni flat di East End, sebuah blok di dekat area Olimpiade, Statford, juga mengalami ancaman kenaikan sewa yang tidak masuk akal sebagai upaya untuk mengosongkan flat demi kepentingan Olimpiade [9]. Setidaknya seribu orang menghadapi ancaman pemindahan sejak lima tahun sebelum Olimpiade dilaksanakan. Walaupun London tidak memiliki banyak pemukim informal, penduduk kelas menengah ke bawah yang tidak mampu mempertahankan propertinya turut dikorbankan demi laga ini.
COHRE juga melaporkan bahwa 720.000 orang digusur paksa dalam persiapan Olimpiade Seoul 1988 dan 30.000 orang dipindahpaksakan dalam upaya gentrifikasi dan pengembangan untuk Olimpiade Atlanta 1996 [10]. Dari pemaparan tersebut, dapat dimengerti bahwa seringkali, Olimpiade menuntut harga yang lebih dari sekedar anggaran untuk terselenggara. Olimpiade juga menuntut pengorbanan dari kesatuan komponen kota, tidak hanya pemerintah, tetapi juga warganya. Tren ini mengindikasikan sebuah kecenderungan trade-off antara kesejahteraan dan citra kota.
Narasi di atas melekatkan Olimpiade bukan dalam konstelasi olahraga ataupun diplomasi internasional, melainkan dalam sebuah konteks yang lebih mikro dan lokal, yaitu kota. Olimpiade dan kota adalah dua muka dari koin yang sama, sebuah koin yang kebetulan jatuh di selokan.
Epilog: Indonesia
Seluruh fenomena tersebut: penggusuran masif, pembangunan yang marak, serta represi pemerintah, seakan memberikan klise tentang keadaan Indonesia. Di koran atau lini masa gawai, saksikanlah bahwa kota-kota di Indonesia sedang menghadapi semua itu. Pada 2015, LBH melaporkan bahwa terdapat 3433 keluarga dan 433 unit usaha yang mengalami penggusuran paksa di Jakarta [11]. Sedangkan di Bandung, dari rumah [12] sampai kampung [13], dari PKL [14] sampai orang mati [15], harus sedikit merasakan gusur dan geser di sana-sini. Tidak hanya di dua kota tersebut, hal serupa terjadi di penjuru Indonesia dengan intensitas yang beragam.
Rasa-rasanya, pantaslah berbaik sangka dan menyimpulkan bahwa mungkin saja, Indonesia sedang berkonspirasi untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2024.
Nayaka Angger
Rabu, 10 Agustus 2016
nayaka.angger@gmail.com