Maha & Siswa Tidak Sebercanda Itu

Nayaka Angger
4 min readJul 16, 2015

--

Catatan Kaki | 16 Juli 2015

Penghayatan makna dimulai dari nama dan kata.

Setiap individu yang mengenyam pendidikan di bangku perguruan tinggi disematkan dengan sebuah titel besar yang disebut ‘mahasiswa’. Masih dibutuhkan beberapa tahun sampai aku bisa memahami kata tersebut secara utuh. Namun, ada sebuah perspektif sederhana yang bisa digunakan untuk menelaah berbagai terminologi identitas kemahasiswaan ini. Kacamata ini sangat sering digunakan, terutama di pelbagai masa orientasi studi perguruan tinggi. Sayangnya, sudut pandang ini kurang diperdalam dan dimaknai, hanya digunakan untuk mempercantik doktrin senior semata.

Ya, etimologi.

Etimologi, menurut kamus kita tersayang, adalah sebuah cabang ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul kata serta perubahan dalam bentuk dan makna. Secara sederhana, kita akan mencari tahu bagaimana sebuah makna diberi nama tertentu, atau bagaimana sebuah kata memiliki makna yang sedemikian rupa.

Dalam orasi-orasi yang memekakkan pada inaugurasi mahasiswa baru, selalu digemakan dua kata yang menciptakan kutukan ini: ‘maha’ yang berarti tinggi dan ‘siswa’ yang berarti subjek pembelajar. Disematkannya kata ‘maha’ di depan ‘siswa’ menjadikan setiap pengembannya seorang pelajar tertinggi, juga seseorang yang tidak pernah cukup menuntut ilmu. Untuk itu, setiap mahasiswa hendaknya menjalankan fungsi dan peran dan hocus-pocus yang menyertainya.

Setahun silam, seorang sahabat menceritakanku tentang sebuah rahasia yang mengagitasi hati. Ia memulainya dengan sebuah pertanyaan yang sering dilontarkan oleh para komandan lapangan:

Apa arti mahasiswa?

Dengan polosnya aku berujar mengenai tetek bengek ajaran para mentor berbaju kuning dulu. Kawanku hanya mengangguk, lalu membombardirku lagi dengan pertanyaan:

Apa arti maha? Apa arti siswa?
Kenapa sampai bisa dinamakan seperti itu?

Aku hampir saja menjawab kebohongan tentang maha dan siswa lagi. Tapi pertanyaan ketiga menyadarkanku bahwa ada maksud yang lebih dari seluruh pertanyaan tersebut, ada sesuatu yang lebih mendasar di sana. Maka dimulailah perjalanan kecilku mencari rahasia dibalik identitas kemahasiswaan, sebuah perjalanan untuk menguak warisan nilai para pencipta setiap kata dahulu kala.

Mahasiswa

Betul adanya bahwa mahasiswa terbentuk dari kata maha dan siswa. Asal kata maha berasal dari bahasa Sansekerta dengan arti yang hampir sama dengan KBBI, yaitu ‘sangat’, ‘besar’, atau ‘mulia’.

Sedangkan kata siswa — menurut hasil yang ditemukan — memiliki dua asal yang berbeda. Yang pertama, kata siswa merupakan serapan dari nama seorang dewa Trimurti dalam agama Hindu, yaitu Siwa. Dewa Siwa adalah dewa pelebur dan pemusnah yang tugasnya menghancurkan segala sesuatu yang telah usang dan tidak berkebaikkan lagi. Sekedar trivia, Ganesa adalah putra dari Siwa.

Asal kata siswa yang kedua adalah dari bahasa Jawa yaitu wasis. Wasis dalam bahasa Jawa adalah orang yang pandai. Maka siswa dimaknakan sebagai orang yang belum pandai, merasa tidak pandai, atau kurang berilmu. Secara sederhana, siswa adalah orang yang belum wasis.

Wisuda

Bagi orang awam, wisuda hanyalah sebuah upacara pelantikan seorang mahasiswa menjadi sarjana ketika dia telah melumat 144 SKS dengan baik. Namun, ada yang lebih dari itu.

Wisuda berasal dari kata Vhisuddha. Vhisuddha adalah titik chakra — titik energi di tubuh manusia — primer kelima dalam tradisi Hindu. Vhisuddha memiliki arti ‘murni yang utama’, sama seperti perannya sebagai titik chakra. Chakra Vhisuddha diketahui sebagai titik pusat pemurnian yang terletak di sekitar leher. Ketika vhisuddha ditutup, maka kita akan membusuk dan mati. Namun jika terbuka, seluruh pengalaman buruk akan berubah menjadi kebijaksanaan dan pembelajaran.

Sarjana

Sama halnya seperti wisuda, kata sarjana cuma jadi mantra sihir di meja interview. Sarjana cuma jadi huruf pelengkap di belakang nama kita. Tapi nenek moyang kita telah mewariskan sebuah nilai yang lebih di dalamnya.

Sarjana berasal dari bahasa Sansekerta yaitu sajjana. Sajjana memiliki arti ‘berwatak baik’, ‘arif’, dan ‘terhormat’. Jaman dahulu, sarjana digunakan sebagai sebutan untuk cendekiawan atau orang pandai. Setiap orang bisa mendapatkan gelar tersebut tanpa harus merogoh kocek diperbudak oleh biaya kuliah.

Jika dimaknai, maka mahasiswa memiliki dua arti: mahasiswa sebagai orang yang seharusnya menghancurkan setiap kejahatan dan hal yang tidak lagi berkenan, serta mahasiswa sebagai orang yang sangat bodoh dan tidak berilmu. Aku secara pribadi memaknai mahasiswa sebagai orang yang sangat bodoh. Sebab, kita memiliki banyak ilmu, banyak aset dan sumber daya, namun kita belum memiliki kearifan untuk menggunakannya dengan baik. Kita justru akan ‘menghancurkan’ hal yang salah, hal-hal yang seharusnya kita selamatkan dan perbaiki. Itulah seorang mahasiswa menurutku.

Yang kita lakukan selama ini di kampus adalah untuk menjadi seorang sarjana. Bukan hanya sarjana yang menyelesaikan pendidikan S1, tetapi sarjana sebagai manusia yang arif, yang mampu menggunakan ilmunya dengan tepat untuk kebaikan semesta. Tentu saja, kita akan terlebih dahulu diwisuda. Bukan wisuda dimana kita diarak naik kuda dengan bendera himpunan, tapi wisuda dimana kita dimurnikan kembali. Supaya kita kembali bersih, supaya setiap pengalaman yang telah didapat ketika menjadi mahasiswa menjadi kebijaksanaan dan pembelajaran yang berarti untuk menjadi sarjana seutuhnya.

Itulah sekiranya bebanmu mengemban titel mahasiswa.

Seluruh informasi dan interpretasi di atas memang tidak bisa dikonfirmasi seluruh kebenarannya, anggap saja itu pendapatku semata. Namun, pemaknaan seperti ini menjadi penting karena inilah nilai-nilai yang ingin disampaikan oleh orang yang pertama kali menggunakan kata-kata tersebut — setidaknya menurutku.

Tetapi, masih ada satu rantai makna yang hilang.

Bagaimana seorang mahasiswa bisa diwisuda menjadi seorang sarjana?

Mungkin itulah tugas dan hakikat dari perguruan tinggi atau universitas. Dan mungkin itu juga kenapa namanya adalah tri dharma perguruan tinggi, bukan tri dharma mahasiswa, sebab mungkin mahasiswa memang hanya seorang penghancur. Hal ini akan saya bahas di lain waktu.

Pada dasarnya, menjadi sesuatu adalah mengenal sesuatu. Menjadi mahasiswa adalah mengenal mahasiswa. Kebanyakan kita langsung memahami tanpa mengerti dan mengetahui, sehingga makna yang sesungguhnya akan terkaburkan.

Cobalah mengerti sebelum menjadi, Kawan.

Terima kasih kepada oknum B yang telah mengajarkan untuk membenci, membenci untuk mengerti, mengerti untuk menjadi.

Nayaka Angger
Mahasiswa

--

--