Dalam Kurung

Salam dari Pelosok Atmosfer

Bermain Mata, Bermain Cuaca

Nayaka Angger

--

Berang-berang laut kadang ditemukan berpegangan tangan ketika tidur supaya tidak terpisah oleh arus.

Makoto Shinkai dan Pinggir Dunia

Pada Agustus 2019, saya meneteskan beberapa mililiter air mata ketika menyaksikan Weathering with You (Tenki no Ko) di sebuah sinema.

Film animasi ini ditulis dan digarap oleh Makoto Shinkai, sosok yang sama di balik Your Name yang masih mendaulat film animasi terlaris sepanjang masa, serta karya lainnya seperti The Garden of Words dan 5 Centimeters per Second.

Singkatnya (waspada beberan cerita), Weathering With You berlatar di Jepang yang muram di mana cuaca tidak pernah menentu dan hujan melanda hampir setiap waktu. Terdapat seorang gadis “hujan” (Hina) yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan cuaca, khususnya, mencerahkan langit dan juga menghentikan hujan. Bersama dengan adik dan kawan barunya (Hodaka), Hina membuka bisnis sampingan pawang hujan. Dan sukses.

Namun, kemudian diketahui bahwa Hina kehilangan dirinya—secara harfiah—setiap kali ia menggunakan kekuatannya, hingga tiba saatnya ia akan betul-betul hilang. Ketika itu terjadi, cuaca Jepang akan kembali normal.

Tentu saja, calon pacarnya menolak.

“Who cares if we don’t see the sun shine again. I want you more than any blue sky. The weather can go crazy.” —Hodaka Morishima, Weathering With You

Seperti penggemar lainnya, yang mungkin sama-sama karbitan, ada getaran yang merejang di sekujur tubuh ketika mendelik Hodaka dan Hina bucin sambil terjun bebas. Dalam jeda 20 detik tersebut, mereka berdua memutuskan kalau dunia silakan saja tenggelam, sebab perubahan iklim memang sebaiknya tak ditanggung oleh dua remaja yang sedang jatuh cinta.

Adegan ini sangat menyentuh bagi saya, tetapi nyatanya tidak banyak orang yang sebegitu menyukai film ini. Saya pun tidak bisa menjelaskan secara rasional kenapa film ini, terutama 20 detik tersebut, indah. Selain karena alasan animasi yang menawan, musik yang serasi, isu lingkungan yang diangkat, serta premis cerita yang cukup tulen.

Baru pada awal tahun ini, setelah menonton kembali Your Name untuk kedua kali, saya bisa menjelaskannya.

Setelah saya sadari, pola yang sama dari kedua film tersebut adalah bahwa keduanya mengangkat kisah mengenai dunia yang berubah akibat seseorang yang bukan siapa-siapa: komet yang gagal membunuh dan matahari Tokyo yang urung bersinar. Para protagonis itu mendemonstrasikan bahwa dunia bisa dengan mudah berubah di tangan sedikit orang—terkadang hanya dalam jeda 20 detik.

Film-film ini, bagi saya, menjadi kuat karena mencerminkan dua hal yang saling nyata dan maya satu sama lain: ketakutan akibat kuasa segelintir orang serta harapan terhadap perjuangan sekelumit lainnya.

“All animals are equal, but some animals are more equal than others.” —George Orwell, Animal Farm

Menonton karya Makoto Shinkai memberi harapan bahwa hal-hal yang saya, kamu, dan orang-orang lain di pinggir dunia perjuangkan punya kemungkinan untuk mengubah dunia, tetapi juga mengingatkan bahwa ada segelintir yang lebih mungkin daripada segelintir yang lainnya.

Pesan dari Ibu untuk Membasahi Gelas

Suatu sore, saya meletakkan gelas bekas minum susu cokelat di tempat cuci, berharap nanti saya ingat untuk membersihkannya bersama dengan piring makan malam.

Saya taruh di tepi bak, begitu saja, di samping talenan potong yang baru saja digunakan untuk mencincang bahan-bahan sambal terasi. Ketika hendak melengos, Ibu saya yang sedang memanaskan minyak meminta saya untuk membasahi gelas bekas susu tersebut dengan air sebelum meninggalkannya.

Oh, ya, tentu saja. Supaya tidak lengket ketika nanti dicuci, pikir saya.

“Kasihan, nanti ada semut,” tambah Ibu.

Oh, ya, tentu saja. Nanti dikerubungi semut. Tapi, kenapa kasihan?

“Kalau disemutin, nanti takut ada yang kesiram,” jelasnya.

Sepintas saya mengiyakan saja, seperti secara insting memang sebuah kebenaran logika rumah tangga. Bahwa jika sebuah gelas atau piring disemuti, akan tersiram ketika nanti dicuci.

Namun, saya menyadari bahwa pola pikir Ibu betul-betul berbeda secara fundamental. Ibu tidak ingin ada semut yang mati, dan jika tidak ingin ada yang mati, dari awal jangan membuat keadaan yang mengundang semut untuk hadir dan mati.

Semut-semut yang mampir ke gelas kotor dan kemudian mati disiram adalah korban dari eksternalitas yang lupa ditanggulangi, yang seharusnya dipertanggungjawabkan hingga tuntas.

Sama saja seperti menikah, atau pelonggaran PSBB, atau stafsus milenial, atau kartu prakerja, atau investasi pariwisata. Atau apa pun, lah. Jangan hanya dipetik ranum buah berahinya, atau popularitasnya, atau devisa dan peningkatan ekonominya. Habiskan juga itu tugas rumah tangga, bantuan sosial, tupoksi, atau infrastruktur pendukung dan penanggulangan dampak lingkungan.

Lain kali menilai orang, mungkin ada baiknya cek bak cuci piringnya. Jangan cuma LinkedIn-nya.

--

--