Dalam Kurung

Sejarah Guling

Urgensi Guling Akhir-Akhir Ini

Nayaka Angger
3 min readOct 7, 2020
Pangolin, bergulung, berguling (Sumber)

Banyak anak kecil di Indonesia tumbuh dengan menyayangi gulingnya. Mencuci, mengganti, atau sekadar meninggalkannya di rumah ketika sedang bepergian kadang bisa jadi bencana.

Sebagaimana cinta yang dielukan tumbuh karena terbiasa, guling pun kerap dinobatkan sebagai kekasih de facto seorang anak. Menemani tidur tiap malam, berpelukan, menghangatkan sekaligus menyejukkan, menopang dengan lembut, tanpa keluh menampung liur dan peluh. Tidak mungkin tidak ada rasa di antara mereka, yang menjanjikan buku nikah saja belum tentu bisa begitu.

Namun nyatanya, kita hanyalah satu dari segelintir bangsa yang menggunakan guling sebagai aparatus pembaringan. Narasi yang sarat keintiman pada paragraf sebelumnya pun tak terlepas dari sejarah benda ini.

Cerita lama menunjukkan bahwa guling mulai digunakan sebagai pengganti teman tidur oleh para Belanda dan Eropa pada masa penjajahan yang menolak (sekuat diri menahan berahi) untuk menggundik. Guling, yang dijuluki juga sebagai “Dutch wife”, kemudian mulai digunakan oleh para priayi dan lalu menyebar ke masyarakat umum.

Artefak kolonialisme ini menorehkan rayuannya di penjuru Asia Selatan dan Asia Tenggara—terutama dataran jajahan Eropa—yakni Vietnam, Filipina, Malaysia, Banglades, Kamboja, Myanmar, Thailand, Pakistan, dan India. Di Cina, Korea Selatan, hingga Jepang juga terdapat praktik menggunakan guling. Pada tradisi Jepang, contohnya, seorang istri akan menganyamkan guling yang terbuat dari bambu untuk dibawa oleh suaminya ketika bepergian jauh sebagai pengganti dirinya untuk dipeluk.

Beratus-ratus tahun telah berlalu. Sekarang, tidak hanya anak-anak, orang dewasa pun lelap dalam lantunan dekap benda fenomenal ini.

Dan kini, pada era ketika sebuah sentuhan dapat mematikan dan kata-kata bukan lagi yang paling berbahaya keluar dari mulut, pelukan menjadi sebuah kelangkaan di mana guling adalah substitusinya yang efektif dan afektif.

Siapa berani bertaruh: guling-guling di Indonesia dapat merapal antologi sendu, kesepian, dan duka paling pilu di tahun ini lebih dari novelis atau cuitan manapun.

Guling punya urgensi yang besar di tahun 2020. Namun, guling bukan hanya tentang bantal lonjong pelipur lara, melainkan juga mengenai gerak benda pada suatu permukaan secara translasi dan rotasi sekaligus.

Ugh, fisika. Menjijikan. Di lain sisi, brilian. Sebuah diorama kehidupan berbangsa dalam bab-bab fisika kelas XI.

Gerak berguling mensyaratkan sebuah benda untuk tidak hanya berputar, tetapi juga berpindah. Tak hanya asyik meroda di tempat tanpa progres, tetapi juga melaju ke titik selanjutnya. Tak hanya tergelincir ke antah berantah, tetapi juga be-revolusi terhadap sumbu yang ajek.

Benda yang berguling tanpa translasi ditakutkan jadi katrol, mengurangi energi untuk mengangkat entah kepentingan apa dan mengubah arah gaya entah ke tangan siapa. Sedangkan yang berguling tanpa rotasi sepertinya tak mengacuhkan friksi di permukaan, seenaknya menggesek diri ke sana-sini dan meninggalkan luka yang keburu diperhalus.

Berguling bisa jadi fenomena yang sangat natural, tunduk pada hukum dan konstanta semesta. Namun, di luar pengondisian yang tepat, beberapa hal tak dapat berguling tanpa gaya eksternal, tanpa sedikit dorongan atau pemiringan bidang.

Mengingat akhir-akhir ini kita tak hanya sedang kesepian, tetapi juga dipaksa bereaksi atas aksi yang keluar prinsip alam, mungkin guling fisika jadi lebih penting dari guling tidur, dinamika gerak jadi lebih urgen dari istirahat yang tenang dan rampung.

Bahwa catatan ini mungkin bukan hanya tentang sejarah guling, tapi juga tentang menggulingkan dan membuat sejarah.

Diinspirasi oleh orang tersayang dan para dewan yang disayangkan

--

--

Nayaka Angger
Nayaka Angger

Written by Nayaka Angger

Kota dan sepi, kata dan api. Mengutarakan yang remeh dan remah di https://nayaka.substack.com/

No responses yet