Dalam Kurung

Si Jiena dan Pak Shurta

Dirajam Air Mata Menguap

Nayaka Angger

--

Muntjac Cina dikategorikan sebagai spesies invasif di dataran Inggris; keturunan Muntjak yang kabur dari Woburn Abbey dan Whipsnade Zoo, Bedford, pada paruh awal 1900-an. Nama muntjac dilatinkan dari bahasa Belanda “muntjak” yang dipinjam dari bahasa Sunda “mēncēk”. (Sumber gambar)

Waktu kecil, Jiena tidak takut dengan Pak Shurta, penjaga ketertiban di lingkungan rumahnya. Orang-orang sering bilang, “Kalau tidak salah, kenapa harus takut?” Betul juga. Jiena, kan, anak baik, untuk apa takut dengan Pak Shurta.

Sekarang Jiena sudah agak besar dan ia takut dengan Pak Shurta. Apa karena Jiena salah? Ya, pernah sedikit, begini ceritanya.

Suatu pagi yang dingin berangin, Jiena berangkat ke sekolah naik motor. Jiena tidak pakai helm, mau mengeringkan rambut. Tiba-tiba, Pak Shurta muncul dari balik apa pun itu, merentangkan tangannya dan menghentikan Jiena. Tertangkap basah (rambutnya). Kasihan sekali, tapi bodoh memang.

Namun, apa karena itu Jiena jadi takut? Tidak. Kehidupannya beberapa tahun terakhir mengajarkannya untuk tidak (hanya) takut kepada Pak Shurta karena kita bersalah.

Lebih sering, kalau tidak kelewat kerap, unggah-ungguh Pak Shurta dalam mengayomi warganya gagal selaras dengan nasihat yang Jiena terima kala kecil. Cerita dan berita yang lalu lalang seperti ingin menitipkan pesan moral yang rahasia, kasat mata tapi tidak boleh diutarakan, pesan moral yang sama yang akan Jiena sampaikan ke anak-anaknya nanti:

“Kalau tidak benar, kenapa harus takut?”

Takutlah kalau berbuat salah … dan benar.

Keseharian Jiena sebagai warga seperti sedang jalan jongkok di titian, lelah dan terus-menerus menyeimbangkan diri karena jalan paling aman sampai ke seberang adalah dengan tidak condong ke kiri dan kanan; tidak salah dan tidak benar, tidak memberontak dan tidak membela, tidak mengkhianati dan tidak mendukung, tidak melanggar dan tidak bersimpati. Lurus saja di tengah spektrum, jangan mampir-mampir ke ujung kontinum, seperti pendulum yang urung jumpa amplitudo.

Jiena hanya bisa duduk dan bekerja, berbuat baik sedikit dan berbuat iseng secukupnya. Hidup, belajar, menikah, berdoa, berteman, dan cari aman. Selama tertib, tidak perlu takut dengan Pak Shurta.

Sebetulnya, Jiena percaya pada kemungkinan bahwa Pak Shurta hanya insan yang sama dengan orang lain, dengan nurani yang seiras atau sarapan yang serupa atau bunyi kentut yang senada atau erangan yang sekata.

Lalu, apa Jiena takut dengan Pak Shurta karena ia “benar”? Tidak juga, ternyata sama sekali tidak.

Yang Jiena takutkan adalah apa dan siapa yang melampaui Pak Shurta, sesuatu yang di luar tapi menguasai Pak Shurta, sesuatu yang selalu diaku tak ada, tapi tak pernah tak ada: perintah-perintah yang dititipkan pada kabar angin, dibisikkan dari antah-berantah dan dilaksanakan tak berbantah.

Yang Jiena takutkan adalah tangan-tangan gelap yang mewayangkan lakon-lakon kebajikan Pak Shurta dari naskah yang ditulis dengan noktah darah dan tanda terima tiga mobil mewah sah dibayar tunai. Yang Jiena takutkan adalah konfigurasi kredo otoritas yang adikuasa merias paras Pak Shurta dengan ketertiban di bibir atas dan kekerasan di bibir bawah; dengan laras di tangan, lars di kaki, dan “saya hanya menjalankan perintah” di kepala.

Yang Jiena takutkan bukanlah karena ia salah, atau karena ia benar, tapi karena salah dan benarnya gagal disepakati dan disepahami, karena hanya Pak Shurta yang punya kuasa menentukan mana yang adil mana yang batil, dan karena Pak Shurta pun ternyata bukan yang punya kuasa.

Oh, absurdnya.

--

--