Yang Antah-Berantah adalah Rumah Juga

Nayaka Angger
4 min readSep 23, 2022

--

Seringnya, tepian hanya ada di pikiran.

Ia boleh jadi sekadar demarkasi imajiner yang menyewakan pancang bagi akal untuk berpegang di atas dunia yang goyah, yang ajek beredar pada banyak poros. Supaya kita tahu di sini dan di sana, paham jauh dan dekat, yang mana sentral dan marjinal, bisa bedakan saya dan ka-liyan.

Namun, pada bidang semesta yang jamak dan petala realitas yang bertumpuk, tiap titik nol adalah nisbi, akal-akalan konfigurasi x dan y. Tengah adalah pinggir sebuah tepi, dan tepi adalah tengah dari dua tengah.

Sebagaimana susur dua lempeng sekali waktu jadi episentrum.

Kereta ke Jakarta

Gemuruh pelantang merundung tidur yang rapuh untuk keempat kalinya. Entah bicara apa suara itu, mungkin tentang persilangan kereta atau larangan merokok.

Di luar langit cerah, sedang di kiri ada kekasih manis sekali. Ronanya dirias pita cahaya dari sinar yang merebak lewat kisi-kisi kerai.

Sandaran kursi sekejap merengkuh punggung seiring kereta bergerak maju. Seperti kasur pada karyawan di Senin pagi yang malas. Beberapa menit yang lalu, kereta menunaikan pemberhentiannya sejenak di sebuah stasiun. Stasiun yang tak repot-repot teringat namanya karena sudah direduksi jadi “masih jauh” atau “belum sampai” oleh pola pikir warga ibu kota yang acap memperlakukan ruang-antara sebagai tak ada. Terlebih ketika sinyal seluler mulai mengkhianati gawai.

Antah-berantah, pikirku.

Dan dunia di balik kaca tak kalah cantik dari semesta mungil di dada kiriku yang masih lelap dengan tangguh.

Sengkarut pematang menjahit petak-petak sawah yang urung ditanami. Teranyam jadi kolam kosong dan laut-laut kecil dan mirat raksasa tempat awan diam-diam bercermin. Saung bambu mencuat di sana-sini. Kubayangkan, petani letih tengah tetirah di dalamnya, menyunggingkan senyum sambil melahap bekal istri. Tapi itu cuma romantisisme bikinan kurikulum sekolah Jakarta dan televisi nasional. Bisa-bisa isinya cuma muda mudi tanggung sedang asyik main gulat.

Lanskap di layar jendela terus berganti dalam sejurus, saling bersilih menampilkan varia panorama di tugas gambar anak SD. Sawah. Kolam. Rumah. Sawah. Kerbau. Ladang. Sawah. Lalu hutan.

Ah, ini baru antah-berantah, pikirku merevisi gumam yang lalu.

Satu sisi tebing, sisi lain belantara. Nihil raut peradaban yang bisa menawarkan ketenangan hati bagi khalayak berhabitat susun beton. Kereta melejit cepat seperti buru-buru lari pindah bentang. Kabur. Kocar-kacir minggat menenteng ribuan orang dalam renteng tabung-tabung besi.

Pohon-pohon menjulang, lebat dan purba, memayungi kemungkinan-kemungkinan liar yang hidup di bawahnya. Mungkin masih ada harimau di sana. Atau anggrek hitam. Atau ajag. Atau dedemit dan siluman. Atau Atlantis.

Atau manusia. Apa ada manusia? Mungkin ada rumah mungil milik suami-istri pekebun. Atau komunitas kecil yang subsisten. Atau pencari kayu dari desa terdekat. Mungkin juga ada markas militer. Atau bungker nuklir. Atau goa semadi ahli nujum. Atau—mungkin saja — muda mudi pegulat.

Sebab, kenapa tidak? Toh, antah-berantah adalah rumah juga. Entah bagi apa dan siapa.

Hic Sunt Dracones

Kapan ketidaktahuan bisa berbunga jadi kesoktahuan? Mungkin selama mengaku tak tahu dan berdiri di abu-abu masih rawan tabu.

Meminjam hukum-hukum prägnanz dari Gestalt dengan tidak tepat dan sok tahu, gandrung sekali akal manusia menyambung-nyambung yang berai dan mengisi-isi yang kosong dan mengada-ada yang tak ada.

Ilusi visual yang mengilustrasikan reifikasi (Sumber)

Melalui interpretasi yang lebih luwes, kurasa sulit bagi ketidaktahuan untuk dibiarkan begitu saja. Jika ada lubang wawasan pada sebuah fenomena, kalau tidak diisi ketakutan, ya ditambal perca-perca ide sekenanya. Kadang kena, kadang makin berlubang.

Beberapa sejarawan memercayai bahwa kartografer terdahulu membubuhkan gambar naga di lokasi-lokasi pada peta yang belum terjamah serta dianggap berbahaya. Di dekatnya kerap tercantum pataka selempang bertoreh: “hic sunt dracones”.

Awas, di sini ada naga, katanya kira-kira.

Penggambaran hewan mitologis digunakan oleh Olaus Magnus pada peta semenanjung Skandinavia untuk menakut-nakuti nelayan asing supaya tidak menjarah ikan di perairan lokal* [Carta Marina oleh Olaus Magnus, 1593]

Tidak ada yang salah, tentu, dari sebuah intensi untuk memperingatkan risiko marabahaya terhadap ihwal yang tak diketahui. Namun, ketika kecenderungan untuk mengasosiasikan ruang minim informasi sebagai tempat cari mati ini giat dirawat, maka kian jamak “antah-berantah” yang surut harapan untuk dikawani dan dikembarai.

Hutan mungkin satu hal, tetapi tendensi ini juga ramai dianut di kota-kota besar. Aneka naga difabrikasi pada sudut-sudut yang terdaulat sepihak jadi terra incognita, pada gang dan lorong yang agak lebih gelap, pada persil-persil di ujung pesisir, di sekitar pojok yang sedikit jorok, pada tempat-tempat di mana kemapanan enggan bersarang dan keragaman nyaman bernaung.

“Takut, ah, ke sana.”

Kita adalah Tepi Satu Sama Lain

Sosok figur sederhana berpendar hijau pada panel digital di ujung gerbong. Seseorang baru saja selesai buang air dan aku beranjak untuk menggantikan.

Dalam syahdu yang gujlak-gajluk, secarik sistem kepercayaan serasa dicerabut oleh lalu-lalang pikiran. Bangunan nalar yang tabah disusun di atas corak keseharian urban terlalu sering, kalau bukan selalu, mengasumsikan bahwa hanya ada kekosongan cerita di atas tanah tanpa gedung, kemunduran budaya di atas lahan tak berpiagam, cuma ada kemerosotan guna di atas ruang bebas profit dan kealpaan hidup di atas ranah antah-berantah.

Sebuah catatan untuk diri: Meminggirkan yang terpinggir dimulai dari kepala, dari cara memandang tengah dan tepian, dari kebiasaan memperlakukan ketidaktahuan dan kekosongan.

Karena tiap antah-berantah pasti—mungkin—menjadi rumah bagi sesuatu. Entah bagi makhluk hidup atau benda mati atau kisah-kisah. Antah-berantah terasing pun setidaknya jadi rumah bagi sepenggal ibu bumi untuk beristirahat dari manusia.

Dan ketika rumah kita adalah antah-berantah bagi satu sama lain, kenapa tak kita coba bersepakat jadi rumah satu sama lain?

Sabtu, 24 September 2022
Catatan ini tipis kohesi dan minim esensi, tapi lebih baik ditulis daripada menguap—seperti air mendidih atau kekasih mengantuk letih.

--

--